Hujan turun. Rintik. Ada
secangkir Cappuchino milikku dan segelas air putih punyamu.
“ Bolos kuliah lagi? Mau sampai
kapan?” dengan santainya kau bertanya. Tak seperti orang-orang itu yang selalu
bertanya dengan nada tak enak.
Aku diam. Hanya mendengarkan sambil
memainkan gantungan kunci monyetku.
“ kalau melakukan sesuatu jangan
setengah-setengah. Penyakit lama kok masih saja dipelihara.” Kau masih belum
menatapku. Maka dari itu aku tak mau menjawab apapun pertanyaanmu.
Hening. Hujan semakin lebat. Dingin.
Aku masih diam. Aku berharap dengan kebisuanku dia mau menatapku. Mencari jawaban
lewat mataku. Seperti yang dia lakukan dulu.
“ Sekarang bilang apa maumu yang…”
sebelum selesai berkata, kupotong bicaranya.
“ Mas ngomong sama aku? Kalo iya,
lihat aku lah!” aku jadi geregetan dan tak sabar. Merajuk.
Kau tertawa. Lalu kau minum seteguk
air putihmu. Mata kita bertemu. Akhirnya.
“ Mas tahu aku bukan benda mati
yang bisa terikat. Apalagi dengan aturan-aturan yang gak jelas dan hanya buat puyeng. Berjalan ditempat itu
menjenuhkan. Biarkan aku berlari, melayang, menari, bergulung, dimanapun dan
kapanpun.”
Kau memerhatikanku.
“ Bisakah aku melepas tali-tali itu
sekarang. Aku pikir belum terlambat kan?
Biarkan aku meraih apa yang aku ingin. Bukan apa yang diinginkan orang lain.” Nada
bicaraku melemah.
Kau mengangguk. Aku tergelak. Berdiri.
“ Makasih mas. Aku pergi sekarang.”
“ Kau siap mendapat ocehan
orang-orang itu?” kau menghentikan langkahku.
Aku berbalik. Menatap lekat matamu.
“ Pasti.”
Kuterobos hujan yang menggila. Cappuchinoku
telah habis.
Surabaya,
bersama secangkir Cappuchino
hangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dengan memberikan komentar,maka anda telah mengapresiasi karya saya =D
arigatou^^