“ Teteh, bagaimana dengan angin?” tanyaku sambil meniup
mainan kincir angin berwarna merah. Siang ini angin tak begitu kencang.
“ Angin? Gimana ya? Kamu itu fleksibel sih. Mau ikut angin,
matahari, akar, apapun bisa kok.” Ujar teteh. Aku mengerucutkan bibir.
“ Kenapa angin? Bukannya kamu suka hujan?” sekarang teteh
yang bertanya.
Jlep! Ada jarum menusuk-nusuk
didada. Melunturkan segala kekuatan yang hampir kokoh. Memiaskan sebagian
keyakinanku hari ini. Geming. Hanya terdengar suara ludah yang ditelan kembali.
“ hahaha” aku hanya tertawa. Tawa yang makin lemah dan
hilang pada akhirnya.
“ gak usah ketawa kalo cuma pura-pura. Kamu masih tetep ya,
menutupi perasaanmu yang sebenarnya.” Ocehmu. Kau ambil tanganku. Erat.
“ Kamu berhak untuk sendiri. Tapi ada kalanya, kita butuh
berpegang pada yang lain.” Angkuhku rontok. Kabur bersama kehangatan yang kau
tularkan. Hilang bersama tulus yang kau tancapkan di kalbu.
“ Aku merasa menjadi batu. Membebani setiap pijakan tempat
dimana aku berdiri. Maka dari itu aku suka hujan. Dulu. Ketika aku menyerah dan
percaya hujan mampu membunuhku secara perlahan.” Aku berhenti sejenak.
“ Tapi aku bertemu angin. Awalnya aku acuh padanya. Tuli pada
teriakannya. Tapi angin tak menyerah mendorongku, menyemangatiku. Mengajakku
bangkit. Hingga aku kembali tegak.” Kataku. Aku jadi teringat kembali pada satu
mozaik hidupku. Aku hanya tersenyum.
“ So, berterima kasihlah pada angin.” Teteh mengambil kincir
angin ditanganku.
“ Terima kasih angin. Tuhan memberkatimu.” Ada
selaksa rindu yang menguap. Menyembul tak sabar.
Langit cerah. Angin semilir berbisik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dengan memberikan komentar,maka anda telah mengapresiasi karya saya =D
arigatou^^