Rabu, 06 Februari 2013

Angin


“ Teteh, bagaimana dengan angin?” tanyaku sambil meniup mainan kincir angin berwarna merah. Siang ini angin tak begitu kencang.
“ Angin? Gimana ya? Kamu itu fleksibel sih. Mau ikut angin, matahari, akar, apapun bisa kok.” Ujar teteh. Aku mengerucutkan bibir.
“ Kenapa angin? Bukannya kamu suka hujan?” sekarang teteh yang bertanya.
Jlep! Ada jarum menusuk-nusuk didada. Melunturkan segala kekuatan yang hampir kokoh. Memiaskan sebagian keyakinanku hari ini. Geming. Hanya terdengar suara ludah yang ditelan kembali.
“ hahaha” aku hanya tertawa. Tawa yang makin lemah dan hilang pada akhirnya.
“ gak usah ketawa kalo cuma pura-pura. Kamu masih tetep ya, menutupi perasaanmu yang sebenarnya.” Ocehmu. Kau ambil tanganku. Erat.
“ Kamu berhak untuk sendiri. Tapi ada kalanya, kita butuh berpegang pada yang lain.” Angkuhku rontok. Kabur bersama kehangatan yang kau tularkan. Hilang bersama tulus yang kau tancapkan di kalbu.
“ Aku merasa menjadi batu. Membebani setiap pijakan tempat dimana aku berdiri. Maka dari itu aku suka hujan. Dulu. Ketika aku menyerah dan percaya hujan mampu membunuhku secara perlahan.” Aku berhenti sejenak.
“ Tapi aku bertemu angin. Awalnya aku acuh padanya. Tuli pada teriakannya. Tapi angin tak menyerah mendorongku, menyemangatiku. Mengajakku bangkit. Hingga aku kembali tegak.” Kataku. Aku jadi teringat kembali pada satu mozaik hidupku. Aku hanya tersenyum.
“ So, berterima kasihlah pada angin.” Teteh mengambil kincir angin ditanganku.
“ Terima kasih angin. Tuhan memberkatimu.” Ada selaksa rindu yang menguap. Menyembul tak sabar.
Langit cerah. Angin semilir berbisik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dengan memberikan komentar,maka anda telah mengapresiasi karya saya =D
arigatou^^