Angin berderai
menjauh, jiwaku terasa terbang entah kemana. Bagaikan kehilangan arah hidup.
Segalanya kurasa tak sama lagi, semua telah berbeda, semenjak perceraian orang
tuaku. Aku bertanya-tanya tanpa ada jawaban. Kalut semakin memakan setengah diriku.
Biasanya,saat keadaan seperti ini datang, maka obat-obatan terlarang menjadi
tempat pelarianku, dunia malam menjadi tempatku untuk sejenak melepas
kebosanan. Namun semua itu hanya membawaku tuk jatuh lebih dalam. Lebih terpuruk.
Sampai pada suatu
saat, kala aurora menggantikan tahta birunya langit, aku kembali dipertemukan
dengan seorang kawan semasa SMA, Nadia namanya.
Dialah
satu-satunya temanku paling setia yang pernah kumiliki. Dia mengerti segalanya
tentangku. Dia selalu tahu apa yang harus kulakukan, bahkan saat beberapa jam
yang lalu kami bertemu kembali setelah beberapa tahun tanpa kabar, dia tetap
seperti yang dulu. Pelukan dan tangisan seketika kutumpahkan padanya. Seperti
biasa, dia akan menenangkanku. Selalu.
“Saat hati merasa
kalut dan kebingungan, maka cobalah untuk berwudhu dan mendekatkan diri pada
yang Kuasa. Dialah pencipta manusia, maka kembalikan segala urusan padaNya.”
Nasihatnya terus terngiang dibenakku, membuatku terjaga sepanjang malam.
Kupandang langit lepas. Kucoba sejenak tinggalkan teman-temanku di daerah
terlarang. Kubiarkan pikiranku melayang-layang. Merenung, apa yang sedang
terjadi padaku dan kenapa.
Kucoba mengurai
benang kusut yang melilit jalanku kini. Kulihat jalan belakang, apa yang
sebelumnya terjadi hingga aku seperti ini. Secara perlahan, memori beberapa
bulan yang lalu hadir dihadapanku bagaikan sebuah cuplikan film yang diputar
ulang. Mulai dari pertengkaran orang tuaku, perceraian mereka, kekecewaanku
karena aku merasa Allah tak adil, keadaanku yang mulai tak jelas kemana, mulai
mengenal barang terlarang dan terperangkap didalamnxa hingga saat pertemuanku
dengan Nadia tadi sore. Entahlah, ada yang menyesakkan dadaku. Aku menangis
dalam diam.
Kata- kata Nadia
masih bergulir dalam otak.
“ Bersyukurlah,
ingatlah apa yang telah Dia berikan selama ini padamu. Allah Maha Adil,
sekarang Dia hanya sedang memberimu ujian, sebuah pelajaran tentang memaknai
hidup. Dia ingin tahu seberapa jauh kau mampu bertahan melewati jalan terjal
yang telah Dia hampar dalam mozaik hidupmu. Aku percaya, kau akan lulus dalam
ujian ini. Percayalah.” Sebuah senyuman tersungging, sebuah suntikan kekuatan
untukku. Kekuatan untuk bertahan.
Ah…Nadia,
beruntungnya aku bertemu dirimu hari ini. Karena hari ini aku berada dalam
puncak keputusasaan. Aku telah berencana mengakhiri hidupku. Dalam kalbu, aku
bersyukur Allah masih mempertemukan kita. Kau benar-benar baik dan tulus.
Seakan ada cahaya yang memancar saat aku melihat teduhnya wajahmu, sahabatku. Sayang, kau tak dapat berlama-lama tuk melepas
kerinduanku padamu.
~^^~
Air keran mengucur deras. Subuh ini, ketika bumi masih gelap
berselimut kabut dan sang surya masih terlelap, aku mencoba menata kembali
langkah-langkahku. Berwudhu, itulah jalan awalku. Disaat seperti ini, air terasa
amat dingin, tapi tak apa, aku tak boleh menyerah. Tahap-tahap dalam berwudhu
kulakukan dengan sungguh-sungguh. Kurasakan tiap tetes air yang menyentuh
kulit. Perlahan, kedamaian mulai kurasakan.
Lalu kunikmati indahnya lantunan adzan yang berkumandang diseluruh
penjuru dunia, bergaung dalam petak-petak langit, menggetarkan hati-hati yang
khusyuk. Jiwaku semakin terbuka, lapang.
Kemudian shalat. Sebuah kewajiban yang beberapa bulan kutinggalkan,
kuabaikan. Alhamdulillah, aku masih ingat bagaimana gerakannya. Saat takbir
kusebut, ada gemuruh dalam dada. Tiap bacaan dalam shalat seperti menetralisir
ion-ion negatif yang menggerogoti imanku. Dalam sujud aku sadar betapa
kerdilnya aku dihadapanNya. Pada salam terakhir, seakan aku telah pulang
kedalam pelukanNya. Subhanallah…sebuah
harapan baru telah terbuka kembali untukku.
“ Nadia, aku pulang…” bisikku dalam hati.
~^^~
Menempuh jalan
tuk kembali padaNya ternyata tak semudah yang kubayangkan. Lebih banyak guncangan yang kuterima. Aku
yang sebelumnya telah kecanduan obat-obatan harus berjuang melawan diri sendiri
yang meraung-raung rindu akan cekokan obat-obatan. Saat itu terjadi, maka
tangisku akan meraung disela-sela sang gulita, seperti orang gila dan tertidur
karena lelah. Benar-benar menyakitkan. Memalukan.
Tak hanya itu,
godaan juga datang dari teman-teman yang telah mengenalkanku pada dunia malam.
Mereka terus merayuku untuk kembali mengunjungi rumah yang penuh musik disko
dan berwarna kelabu, menenggak minum-minuman keras. Jika tak berhasil, mereka
akan mengadakan pesta dadakan dirumahku. Awalnya aku benar-benar tak bisa
melawan, hanya bergeming dengan sekelilingku. Sampai pada suatu malam, kepalaku
serasa akan pecah mendengar tawa dan dentuman musik yang memekakkan telinga. Jiwa
kecilku ingin memberontak. Maka, kuhancurkan semua barang yang mereka bawa
untuk berselancar melewati malam. Botol-botol pecah menumpahkan air yang
menggenang diatas lantai. Musik berhenti mengalun. Aku hilang kendali, kuusir
semua orang yang datang malam itu. Mereka tertegun, hening. Kulihat raut wajah
yang terkejut dengan sikapku mala mini. Kemudian, satu-persatu mereka pergi dengan
bermacam-macam komentar ejekan. Biarlah, aku tak peduli lagi dengan dunia
mereka. Esoknya, tak ada satupun teman yang mengakui keberadaanku. Tapi tak
apa, karena hari itu, Nadia menghampiriku, memelukku sambil berbisik, “ setelah
ini jaga dirimu baik-baik. Jangan biarkan imanmu layu lagi. Teruslah berjuang.”
Nadia melepaskan pelukannya dan pergi.
Aku hanya tertegun, ingin kukejar Nadia, tapi dia telah menghilang.
Dalam sepertiga
malam yang masih terasa asing, kuadukan segalanya padaNya.
“ ya Allah,
kenapa begitu terjal jalan yang harus kulewati untuk kembali ke dalam
pelukanMu? Sanggupkah aku melaluinya tanpa harus mengeluh? Aku ingin menjadi
kekasihMu, orang yang mulia disisiMu, bukalah, permudahlah ya Allah…” hawa
panas yang menjalar sepanjang hari, terlepas begitu saja. Malam yang dingin
bersamaNya. Kulantunkan ayat-ayatNya yang mampu memberikan ketenangan yang luar
biasa, yang tak pernah kudapat sebelumnya. Baru pada malam ini aku tidur tanpa
satupun kegundahan. Alhamdulillah…
~^^~
Senja turun
menyemaikan gemerlap jingga yang malu-malu menghampiri birunya angkasa.
Burung-burung pulang ke peraduannya. Bayanganku asyik bergoyang di permukaan
tanah bersama rumput yang lincah. Aku termangu disamping sebuah nisan yang
diatasnya terukir sebuah nama: Nadia Andika, meninggal 21 Oktober 2010, setahun
yang lalu. Hatiku luruh, air mata menggenang, bergulir diatas pipi.
Sepanjang
perjalanan pulang, aku masih bertanya siapa Nadia yang kutemui sore itu,
tepatnya sebulan yang lalu. Siapapun dia, terima kasih karena telah
membangunkanku dari mimpi buruk dan menuntunku pulang ke rumahNya.
~^^~
Malang, 28 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dengan memberikan komentar,maka anda telah mengapresiasi karya saya =D
arigatou^^