Minggu, 29 April 2012

Cerpen:Pulang




Angin berderai menjauh, jiwaku terasa terbang entah kemana. Bagaikan kehilangan arah hidup. Segalanya kurasa tak sama lagi, semua telah berbeda, semenjak perceraian orang tuaku. Aku bertanya-tanya tanpa ada jawaban. Kalut semakin memakan setengah diriku. Biasanya,saat keadaan seperti ini datang, maka obat-obatan terlarang menjadi tempat pelarianku, dunia malam menjadi tempatku untuk sejenak melepas kebosanan. Namun semua itu hanya membawaku tuk jatuh lebih dalam.  Lebih terpuruk.
Sampai pada suatu saat, kala aurora menggantikan tahta birunya langit, aku kembali dipertemukan dengan seorang kawan semasa SMA, Nadia namanya.
Dialah satu-satunya temanku paling setia yang pernah kumiliki. Dia mengerti segalanya tentangku. Dia selalu tahu apa yang harus kulakukan, bahkan saat beberapa jam yang lalu kami bertemu kembali setelah beberapa tahun tanpa kabar, dia tetap seperti yang dulu. Pelukan dan tangisan seketika kutumpahkan padanya. Seperti biasa, dia akan menenangkanku. Selalu.
“Saat hati merasa kalut dan kebingungan, maka cobalah untuk berwudhu dan mendekatkan diri pada yang Kuasa. Dialah pencipta manusia, maka kembalikan segala urusan padaNya.” Nasihatnya terus terngiang dibenakku, membuatku terjaga sepanjang malam. Kupandang langit lepas. Kucoba sejenak tinggalkan teman-temanku di daerah terlarang. Kubiarkan pikiranku melayang-layang. Merenung, apa yang sedang terjadi padaku dan kenapa.
Kucoba mengurai benang kusut yang melilit jalanku kini. Kulihat jalan belakang, apa yang sebelumnya terjadi hingga aku seperti ini. Secara perlahan, memori beberapa bulan yang lalu hadir dihadapanku bagaikan sebuah cuplikan film yang diputar ulang. Mulai dari pertengkaran orang tuaku, perceraian mereka, kekecewaanku karena aku merasa Allah tak adil, keadaanku yang mulai tak jelas kemana, mulai mengenal barang terlarang dan terperangkap didalamnxa hingga saat pertemuanku dengan Nadia tadi sore. Entahlah, ada yang menyesakkan dadaku. Aku menangis dalam diam.
Kata- kata Nadia masih bergulir dalam otak.
“ Bersyukurlah, ingatlah apa yang telah Dia berikan selama ini padamu. Allah Maha Adil, sekarang Dia hanya sedang memberimu ujian, sebuah pelajaran tentang memaknai hidup. Dia ingin tahu seberapa jauh kau mampu bertahan melewati jalan terjal yang telah Dia hampar dalam mozaik hidupmu. Aku percaya, kau akan lulus dalam ujian ini. Percayalah.” Sebuah senyuman tersungging, sebuah suntikan kekuatan untukku. Kekuatan untuk bertahan.
Ah…Nadia, beruntungnya aku bertemu dirimu hari ini. Karena hari ini aku berada dalam puncak keputusasaan. Aku telah berencana mengakhiri hidupku. Dalam kalbu, aku bersyukur Allah masih mempertemukan kita. Kau benar-benar baik dan tulus. Seakan ada cahaya yang memancar saat aku melihat teduhnya wajahmu, sahabatku.  Sayang, kau tak dapat berlama-lama tuk melepas kerinduanku padamu.
~^^~
Air keran mengucur deras. Subuh ini, ketika bumi masih gelap berselimut kabut dan sang surya masih terlelap, aku mencoba menata kembali langkah-langkahku. Berwudhu, itulah jalan awalku. Disaat seperti ini, air terasa amat dingin, tapi tak apa, aku tak boleh menyerah. Tahap-tahap dalam berwudhu kulakukan dengan sungguh-sungguh. Kurasakan tiap tetes air yang menyentuh kulit. Perlahan, kedamaian mulai kurasakan.
Lalu kunikmati indahnya lantunan adzan yang berkumandang diseluruh penjuru dunia, bergaung dalam petak-petak langit, menggetarkan hati-hati yang khusyuk. Jiwaku semakin terbuka, lapang.
Kemudian shalat. Sebuah kewajiban yang beberapa bulan kutinggalkan, kuabaikan. Alhamdulillah, aku masih ingat bagaimana gerakannya. Saat takbir kusebut, ada gemuruh dalam dada. Tiap bacaan dalam shalat seperti menetralisir ion-ion negatif yang menggerogoti imanku. Dalam sujud aku sadar betapa kerdilnya aku dihadapanNya. Pada salam terakhir, seakan aku telah pulang kedalam pelukanNya.  Subhanallah…sebuah harapan baru telah terbuka kembali untukku.
“ Nadia, aku pulang…” bisikku dalam hati.
~^^~
Menempuh jalan tuk kembali padaNya ternyata tak semudah yang kubayangkan.  Lebih banyak guncangan yang kuterima. Aku yang sebelumnya telah kecanduan obat-obatan harus berjuang melawan diri sendiri yang meraung-raung rindu akan cekokan obat-obatan. Saat itu terjadi, maka tangisku akan meraung disela-sela sang gulita, seperti orang gila dan tertidur karena lelah. Benar-benar menyakitkan. Memalukan.
Tak hanya itu, godaan juga datang dari teman-teman yang telah mengenalkanku pada dunia malam. Mereka terus merayuku untuk kembali mengunjungi rumah yang penuh musik disko dan berwarna kelabu, menenggak minum-minuman keras. Jika tak berhasil, mereka akan mengadakan pesta dadakan dirumahku. Awalnya aku benar-benar tak bisa melawan, hanya bergeming dengan sekelilingku. Sampai pada suatu malam, kepalaku serasa akan pecah mendengar tawa dan dentuman musik yang memekakkan telinga. Jiwa kecilku ingin memberontak. Maka, kuhancurkan semua barang yang mereka bawa untuk berselancar melewati malam. Botol-botol pecah menumpahkan air yang menggenang diatas lantai. Musik berhenti mengalun. Aku hilang kendali, kuusir semua orang yang datang malam itu. Mereka tertegun, hening. Kulihat raut wajah yang terkejut dengan sikapku mala mini. Kemudian, satu-persatu mereka pergi dengan bermacam-macam komentar ejekan. Biarlah, aku tak peduli lagi dengan dunia mereka. Esoknya, tak ada satupun teman yang mengakui keberadaanku. Tapi tak apa, karena hari itu, Nadia menghampiriku, memelukku sambil berbisik, “ setelah ini jaga dirimu baik-baik. Jangan biarkan imanmu layu lagi. Teruslah berjuang.” Nadia  melepaskan pelukannya dan pergi. Aku hanya tertegun, ingin kukejar Nadia, tapi dia telah menghilang.


Dalam sepertiga malam yang masih terasa asing, kuadukan segalanya padaNya.
“ ya Allah, kenapa begitu terjal jalan yang harus kulewati untuk kembali ke dalam pelukanMu? Sanggupkah aku melaluinya tanpa harus mengeluh? Aku ingin menjadi kekasihMu, orang yang mulia disisiMu, bukalah, permudahlah ya Allah…” hawa panas yang menjalar sepanjang hari, terlepas begitu saja. Malam yang dingin bersamaNya. Kulantunkan ayat-ayatNya yang mampu memberikan ketenangan yang luar biasa, yang tak pernah kudapat sebelumnya. Baru pada malam ini aku tidur tanpa satupun kegundahan. Alhamdulillah…
~^^~
Senja turun menyemaikan gemerlap jingga yang malu-malu menghampiri birunya angkasa. Burung-burung pulang ke peraduannya. Bayanganku asyik bergoyang di permukaan tanah bersama rumput yang lincah. Aku termangu disamping sebuah nisan yang diatasnya terukir sebuah nama: Nadia Andika, meninggal 21 Oktober 2010, setahun yang lalu. Hatiku luruh, air mata menggenang, bergulir diatas pipi.
Sepanjang perjalanan pulang, aku masih bertanya siapa Nadia yang kutemui sore itu, tepatnya sebulan yang lalu. Siapapun dia, terima kasih karena telah membangunkanku dari mimpi buruk dan menuntunku pulang ke rumahNya.
~^^~
Malang, 28 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dengan memberikan komentar,maka anda telah mengapresiasi karya saya =D
arigatou^^